Jejak Kerang Alam


Main hujan dijalan raya sama skuternya,
Masak untuk dimakan sendiri,
Tak lepas bergandeng tangan dengan smartphone,
Tertawa untuk senangnya,
Bertingkah sekedar menghibur sekitarnya saja . . .


Sekedar menulis apa ini – apa itu, bagaimana ini – bagaimana itu – seperti apa ini – seperti apa itu –

Aku banyak meninggalkan jiwa diberbagai tempat, diberbagai jiwa, dan.. ini sok tahuku saja.. ada beberapa hati yang meminta jiwaku untuk menyinggahinya. Aku sok tahu, karena yang memberiku kabar adalah bisikan.

Tak ada yang perlu di kawatirkan dengan sakit. Tak ada yang perlu diratapi dari pilu. Aku punya banyak nyawa cadangan untuk jiwaku. Sudah mulai ku timbun sejak aku lompati garis Sekolah Dasar. 3 tahun Menjadi narapidana Tuhan, berlindung dari panas dan hujan di Asrama ala Balanda bekas Rumah Sakit Kota, berkumpul bersama perantau-perantau cilik di asrama apa adanya. Dampingan orang tua hanya dari seluler seminggu sekali, dampingan orang tua imitasi tak terlalu membatin kami, hukuman dari pasal-pasal pelanggaran santri, mencuci tangan bersama menjemur di belakang tempat singgah anak jalanan, mengolah uang jajan dengan satu tangan saja, sok besar berani keluyuran keliling kota dengan angkot. Ababil-ababil dewasa selalu berusaha berasatu menyatukan kesenangan untuk mengatasi segala tekanan yang didapat, tak ada tangisan, semua diterima dengan tawa ejekan. Ini merupakan 1000 nyawa cadangan untuk jiwaku. 100 dari keluarga asrama dan 900 dari Tuhanku.

Memasuki perionde revolusi duniaku yang selanjutnya. Kembali ke tanah lahir. Terbiasa hidup tersekat, tak salah kalau aku kaget berteman dengan keadaan baru. Hanya semenit aku merasa sendiri, jutaan menit selanjutnya aku jalani dengan ramai yang tak kalah religi dengan tempatku yang dulu. Lebih banyak aku bisa menabung jiwa di episodeku kali ini. Episode lengkap tanpa tau ujung cerita, karena sampai hari inipun aku masih menjalaninya. Kerekatan sahabat, ketulusan sayang, kelengkapan nyawa, terbelah oleh keadaan, sampai tak ada lagi yang bisa dipilih. Merasakan lengkap dan hilang hanya selisih satu kali terbitan matahari. Kemaren aku tertawa, hari ini aku kehilangan nyawa tulang-tulangku. Panjang waktu, sampai 3 tahun nyawa itu baru kembali tanpa utuh. Ini menjadi awal pembuatan filmku.

Belum selesai semua. Belum pulih juga..
Seperti mimpi.
Kakiku sudah berpijak di pulau seberang, tanpa introduction main-main di emperan trotoar pinggir jalan, aku langsung duduk di kursi Sekolah Tinggi  Kompleknya atsmosfir duniaku aku rasakan disini.
Aku bilang ini film, karena ini tak ada part yang ikhlas terbuang. Ratusan juta cadangan nyawa aku dapatkan di sini.Memasuki tahun ke enam perjalan scene, barulah aku menemukan siapa aku. Dengan hati yang masih menjalani perawatan intesif di tangan Sang Maha Penyembuh aku jalani hari yang tak terkurangi takaran jamnya ini. 24 jam bermain dengan langkah. Tak ada yang perlu dibimbangkan karena hari mengajarkanku untuk membuat simpangan sebelum dia menyajikan pilihan. Angin ajarkan aku mencari tempat menghembuskan nafas walaupun sedang berada di tengah gorong-gorong tak berair. Tak ada yang perlu ditakuti dengan sendiri, jiwaku hidup dimana-mana. Tak perlu mencari, pati ada yang Tuhan datangkan untuk menghibur.

2 detik senyuman melunturkan,
10 detik tawa membiaskan,
30 menit terpingkat pecahkan semua,
Sehari ibadahku.. kembali utuhkan aku yang sempat terpecah
Antarkan jiwa yang dapat berbicara dengan alam
Bercanda dengan Tuhan, sampai akhirnya tertidur di sajadahnya..

Tak yang yang sendiri. Bertemanlah dengan alam, karena sebenarnya mereka bisa berbincang. Karena alam ini juga ciptaan Sang Maha Besar. Kebesaran yang tak terkira, menemanimu lebih dekat dari nadi, dari yang menjadi pijakan, dari yang dipandang, dari yang tersentuh, terhirup, terdengar, sampai yang tak ternalar.
Mimpi bukan duniaku. Aku takut mengumpat Tuhan jika ditengah jalan aku tersandung dan akhirnya aku tebangun. Memang, di dunia itu aku bisa berada di tempat yang aku mau. Aku bisa mengambil apapun yang aku ingin. Tak perlu banyak dikemasi untuk berangkat kesana. Cukup pejamkan mata, sebutkan yang diingin, jalani hari dengan mata tertutup dan ijinkan langkah berlari mengejar rentetan impian tadi, namun..

Sebelum hari dalam mimipi menyuguhkan pilihan, aku sudah menentukan langkah untuk keluar dari sana dan melayani kenyataan hari ini tanpa memikirkan impian. Bukan karena takut bermimpi. Semua impian tetap ditulis, panjang, banyak, tapi tidak untuk dipajang. Kulipat, kusimpan sampai akhirnya hampir hilang. Tertimbun hampir 1,5 tahun, kubuka, kubaca lagi, tercoret satu persatu karena sudah didapat. Akhirnya 15 list impian tercoret, 15 keinginan tercapai. Hanya berbekal menulis dengan niat mendapat Rihdo-Nya lalu jalani saja hari ini tanpa keinginan mengejar mimpi, karena impian akan terselip di langkah ikhlas hari ini, esok, dan seterusnya. Ada yang berupa tanggung jawab, ada yang sebagai imbalan, ada juga yang sebagai penghibur penat.

Tak ada yang boleh disalahkan dari sebuah perjalanan. Lebarkan ruang sabar agar Dia bisa menuangkan ke Maha Ikhlas-Nya disitu. Tak ada yang dirasa berat jika ruang itu sudah terpenuhi dengah Maha Kasih-Nya. Tragis hari kemarin tersulap menjadi cita-cita besar. Semua rapi terbungkus dalam kotak hitam. Film itu bukan ambisi. Hanya siap tayang atas izin Illahi.

Tak ada yang perlu ditakuti. Kesedirian itu fana. Anggap gelap itu waktu menenangkan. Anggap sakit itu waktu istirahat. Anggap lelah itu masa berkumpulnya kekuatan baru. Cairkan penat dengan senyuman. Usir risau dengan memberi orang lain kebahagaian.

The End


Menunggu deras berhenti mengguyur hari
Waktu termandikan dari gerahnya
Buku terserak tak beraturan diatas karpet
Tersungkur gelas kopi tak berisi
Pesawat kertas rapi terkoyak diatas kasur
Sudut lemari menertawakanya
Kotak digital hamburadul dan masih banyak lagi yang pecah juga terbelah
Ujung kamar meratap dewasa, membatin
Pintu kamar dan tumpukan buku sudah kesakitan dari awal
Akhirnya hentinya hujan membangunkanya
Hari sudah sore. Lekas mandi sana!

Comments

Popular posts from this blog

AKU KEJAM!!!

Warna Jambu Merah