CERPEN : Kalung Spesial

Ramai kunjungan dari undangan yang Mama sebar, mereka sudah riuh di bawah sana sejak setengah jam yang lalu. Dari atas ku intip. Hmm.. banyaknya kue kue cantik tersusun, didampingi gelas-gelas kosong di jajarkan dengan minuman beberapa jenis minuman dingin. Paduannya menggiurkan mata dan lidah yang melihat. Termasuk aku hihihi.. Cuman aku belum boleh turun. Nantilah.. pasti kebagian. Kan aku Ratu-nya di sini duuu dudu dudu.

Tiap menitnya ada saja orang baru yang masuk ke rumah, satu persatu beri ucapan selamat ke Mama dengan wajah yang (bisa jadi) iri. (mungkin) Sangat iri.

Kembali masuk ke kamar
Bingung mau pakai baju yang mana. Mama terlalu banyak belikan aku baju bagus. "Baju yang mana ya yang pas buat ke bawah?" sebagai tangan ke dua penerima berlimpah ucapan selamat atas prestasi yang sudah ku raih :
     1. Lulus sebagai Mahasiswa Kedokteran dengan IPK sangat memuaskan,
     2. Diterima sebagai dokter di Rumah sakit Pusat Kota, sambil nyambi Sekolah lagi ambil spesial
Acara yang bilanganya "Syukuran" di lantai bawah itu akumulasi dari yang kemarin-kemarin dan yang             baru-baru ini :
     3. Lulusnya aku dari Sekolah spesialis ku dengan IPK lebih bagus dari ijasa S1, kemudian empat bulan              setelahnya ada pembukaan pegawai negri sipil, Mama suru coba ikut, akhirnya..
     4. Kelulusan berpihak padaku. PNS ku masuk beserta dengan Ilmu Spesialisku. Makin lengkap lagi                  karena hari ini adalah hari ke tujuh belas aku :
     5. Resmi di lamar jenderal muda nan tampan

# Melihat jam dinding ... #
"Hmm.. masih sekitar 15 menit lagi acara mulai. Bagus lah,, bisa agak santai siap-siap. Biar lebih rapi".

Disusunnya semua baju kelulusan lengkap dengan piagam-piagam dan medali-medali penghargaan, rapi di atas meja belajarnya. Di tata juga baju kerja pertama dan seragam keduanya. Semua piagam, sertifikat, dan tropi penghargaan pun juga di tata rapi jadi satu.
Ya.. tak lupa baju lamaran dan calon gaun pengantin juga mendampingi pajangan prestasi-prestasinya. Satu di sisi kanan, dan satu di sisi kiri meja. Perlahan kakinya melangkah mundur, memastikan letaknya dari jarak agak jauh. YAP!! Sudah lengkap.. :)

" Sekarang tinggal kalungnya." Kalung spesial baginya.
Perlu mencocokkan moment untuk kenakan kalung ini. Dan menurutnya hari ini adalah hari yang sangat pas untuk dikenakan.
Terima kasih Edel..Akhirnya kamu bisa wujudkan segala mimpi-mimpiku.
# Tok tok tok...
"Sayaaang.. sudah siap belum say..??" suara Mama dari balik pintu.

"IRNAAa.. buruan buka acaranya, kita sudah pada lapar nii.." suara teman-teman Mama dan Papi dari bawah tak sabar,
" Iya sabar.. Jemput princess nya dulu nii.. " # Tok tok tok... "Sa~ya~ng.. Mama masuk yaa.. Sudah siap kan..??

Dibukanya tirai peng-sekat mencari princess nya yang mungkin duduk berdandan di depan cermin. Tak menemukannya~ Mama membalikkan badan ke arah belakannya, mungkin sedang duduk menunggu dengan ear-phone atau masih di kamar mandi.

AAHHk! ADEEEEELLL~~!!!!!!!!! suara teriakan Mama terdengar ke seluruh rumah. Jeritan histeris yang melihat anaknya tergantung cantik diatas kebanggaannya. YA TU HANN~ A DELL SA YAANGG~~ suara Papi terpatah-patah karena kaget yang bercampur perih

Mama masih terus menjerit. Papi hanya bisa menangis. Ambulans sudah tak berguna. Mukanya sudah membiru.
Dalam hitungan kurang dari enam puluh detik tamu undangan syukuran berganti status menjadi tamu belasungkawa.

Di depan pintu Giya.. menangis. Tangisan lega. Se-lega istirahatnya Edel.. (mungkin).
Sesak juga dada Giya selama ini seperti ikut merasakan apa yang Edel ceritakan padanya. Rasa bahagia atau sedih mendalam yang harus dia ucapkan, bingung. Tangannya menggenggam kalung harapan buatan tangan Edel untuk Biyan; good boy karyawan televisi swasta merangkap wirasusaha aksesoris logam yang tidak sengaja bertemu dengannya di halte busway, tidak sengaja menyapa karena jam tangan Edel mati, Handphone pun juga mati. Pertemuan itu membuat Edel pun tidak sengaja menaruh perasaan padanya, begitu pula dengan Biyan.

#  #  #

" Biyan..?? "
" Ya bu.. saya Biyan " menunduk hormat
" Saya turut ber - "
" Sejak kapan Biyan kenal sama anak saya? "
" Mungkin sekitar 7 bulan bu "
" Seberapa kenal kamu dengan Edel? "


" Edel pegawai perusahaan swasta lincah pemilik tangan emas, pelukis amatir yang punya hobi fotografi". Biyan jajar satu persatu kanvas gambar lukisan cat minyak karya Edel.

"Edel penyair yang lembut. Dia bercita-cita ingin punya karya besar dari keterbatasan dan kemampuan yang ada namun bisa menembus dunia". Biyan jajar satu persatu kain kanvas yang sudah terlukis cat minyak, yang di setiap ujungnya ada ukiran klasik, jika di urai : Edelby. Foto-foto hasil bidikkan Edel yang mereka cuci sendiri di studio pribadi milik Biyan. Sedih yang mendalam terlihat ditangannya yang bergetar. Tiap satu persatu gambar yang dia susun, satu persatu pula hari-hari mereka terlihat lagi. "Edel perempuan indah bu. Dia Mutiara berharga milik Tuhan yang di pinjamkan sebentar buat bantu saya memperbaiki diri"

" Kamu sayang sama anak saya~?? "

" Maafkan saya bu~ "  suaranya mulai bergetar, "Sungguh saya tidak tau kalau Edel sudah tunangan"kakinya mulai lemas. Berlutut Biyan di depan Mama dan melanjutkan penjelasannya dengan suara yang mulai parau "Saya juga tidak tau kalau ternyata Edel dokter sukses. Saya juga ga~ " Mama merengguh seluruh kepala Biyan " Cukup nak "

" Saya mengaku menyesal kenal Edel bu. Maafkan saya " suara Biyan nyaris hilang karena menahan sesak. Penuh rasa sedih


" Saya yang lebih pantas menyesal. Saya yang tidak kenal siapa Edel. Padalah 23 tahun dia hidup sama saya. " 

#  #  #

Setelah seperti ini. Apa yang bisa di kerjakan untuk membalas rasa sayang? Atau bahkan rasa menyesal.

Menganggap Biyan sebagai anaknya, Biyan menolak karena dia ingin membuat jalan baru untuk hidupnya. Membuatkan pameran dari karya-karya Edel, pun hanya bisa untuk sepanjang masa kontrak tempat. Tidak ada yang bisa menggantikan tangan untuk meneruskan karya Edel.
Edel ya Edel.
Mimpi Edel ya punya Edel,

Demi meraih mimpi, ada beberapa hal yang terlupakan, padahal hal itu yang nantinya menentukan hidupnya. Tanpa ada anak, siapa yang akan merawat masa tuanya? Memasukkan diri ke panti jompo mungkin bukan balasan dari episode ini.
Sesal yang membayang sampai mati dan terus mengucapkan  Terima kasih Edel.. Terima kasih Edel.. Terima kasih Edel.. . Karena cuma itu kalimat yang belum pernah ia berikan pada Edel sepanjang Edel meraih kan impiannya.

Comments

Popular posts from this blog

Rayuan Alam, Part : Kutulusan Bukit dan Gunung

Yaa~ begini ya.. Cuma pengan ngomong aja.~